Bukit Betung, Sungai Liat Babel

Bukit Betung, Sungai Liat Babel

Rabu, 14 April 2010

Kritik n Saran

Perlukah Sekolah/Universitas Dibubarkan?
Pada hakikatnya, pendidikan sepenuhnya merupakan pola interaksi manusiawi antara orang perseorangan dengan dunia di luar dirinya, termasuk dengan orang perseorangan lainnya (person to person) sebagaimana terjadi dalam keluargan dan dalam masyarakat, yakni dalam kehidupan sehari-hari yang informal. Sesungguhnya tidak seorangpun yang bisa dididik atau diedukasi, karena edukasi atau pendidikan itu adalah proses menyatakan diri “dari dalam ke luar” (inside out). Pernyataan diri atau aktualisasi potensi diri itu tidak bisa diajarkan , juga tidak bisa dilatih, sebab pengajaran dan pelatihan datang dari “luar diri” (outside in). Pendidikan sebagai proses aktualisasi potensi diri juga tidak bisa dibeli, sepaerti kita dapat membeli pengetahuan ari industri persekolahan atau industri lainnya yang memperdagangkan pengetahuan. Bahkan pendidikan juga tidak bisa direncanakan secara ketat, tidak bisa diprogramkan berdasarkan hasil suatu penelitian. Pendidikan sebagai proses pemanusiawian (humanisasi) tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikontrol, sebagaimana proses produksi barang dan jasa.
Bila kata “formal”, “nonformal” dan “imformal” hendak dipergunakan, hendaknya dikaitkan dengan kata “pendidikan” (education), tetapi lebih tepat dengan kata “pembelajaran” (learning). Artinya, bila kita ingin membicarakan masalah pendidikan dalam arti yang sejati, kita harus menghentikan salah kaprah yang menyesatkan dengan mengganti istilah “lembaga pendidikan” menjadi “lembaga pengajaran”.

Misi Terselubung Lembaga Persekolahan
Saat ini, lembaga persekolahan yang terutama sekolah, universitas, dan juga yang mencakup lembaga-lembaga pelatihan yang mendukung sekolah dan universitas telag dianggap atau diperlakukan sebagai pemegan hak monopoli atas pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills). Mereka yang berkuasa atas lembaga persekolahan, mulai dari pemerintah sampai dengan pengurus yayasan dan kepala sekolah, tidak ubahnya bagai raja yang berhak mendiktekan pengetahuan mana yang diperlukan dan keterampilan apa yang harus dilatihkan keapda semua orang bersekolah. Tidak terlalu mengherankan jika kemudian kita menyaksikan bahwa lembaga-lembaga persekolahan hampir selalu dipolitisasi untuk melestarikan kekuasaan rezim tertentu.
Ini artinya, lembaga persekolahan sebenarnya diberi misi terselubung, yakni untuk melestarikan kekuasaan dan status quo. Upaya melestarikan kekuasaan dan staus quo ini dilaksanakan secara sistematis, terprogram, dan dapat diprediksi, karena mengacu pada “kurikulum nasional” yang disusun oleh “kelompok ahli” yang “paling mengetahui” kebutuhan masyarakat. Keikutseratan masyarakat hanyalah dalam soal mendanai pelaksanaan “kurikulum nasional” itu. Masyarakat, terutama yang bukan “produk” sekolahan, hampir dapat dipastikan tidak tidak pernah diajak terlibat memikirkan “kurikulum nasiaonal” ini dan mereka harus menerima begitu saja apa yang telah ditentukan oleh “kaum pintar”.

“Generasi Sarimin” yang “Ketagihan Sekolah”
Pada akhirnya, kaum muda yang telah kehilangan daya kritis dan kemampuan kreatif inilah yang memasuki dunia kerja, menjada pegawai dan aparat birokrasi yang taat sepenuhnya kepada apa kata “komndan”. Mereka menjadi “generasi sarimin”, monyet yang terlatih untuk mengikuti instruksi dan perintah dari majikannya, agar mereka kebagian “hadiah” (uang, jabatan, proyek KKN, dan sejenisnya). Sebuah ilustrasi yang sangat tepat, penjara adalah “sekolah” para bandit dan penjahat tulen. Sebagian bandit yang keluar dari penjara tidak menjadi manusia yang insyaf dan bertobat, tetapi makin mahir melakukan kejahatan dan makin sering melakukannya tanpa harus ditangkap. Mereka telah “belajar” pada pengajar dan pelatih terbaiknya di penjara. Nah, sekolah adalah penjara dalam arti itu.
Diajarkan bahwa sekolah, universitas, dan gelar akademis adalah jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk mengubah nasib mereka, teutama anak-anak miskin. Pada kenyataannya, setalh orangtuanya di kampung terpaksa membanting tulang dan menjual sawah ladang mereka untuk membiayai “sekola” itu, anak-anak yang telah memperoleh “sertifikat akademis” itu harus antri dalam barisan pengangguran terpelajar yang mengemis pekerjaan. Kualitas hidup petani dan pedagang yang tidak pernah bersekolah di masa lalu mungkin lebih baik daripada kualitas anak-anak mereka yang “terpelajar” tetapi tidak menguasai baik pengetahuan maupun keterampilan hidup (karena yang diajarkan cuma menghafal). Itulah kenyataannya, tetapi “generasi sarimin” telah dibutakan untuk melihat realitas yang sesungguhnya itu. “Generasi sarimin” telah terbiasa dan terkondisi untuk bermental budak-kuli-babu yang selau mencari majikan baru karena takut menjadi manusia merdeka yang bertanggungjawab. “Generasi sarimin” tidak menunjukkan sama sekali “mentalitas swasta” yang terutam bercirikan sensitivitas, kreativitas, dan keberanian mangambil risiko.
Selain itu, di lembaga persekolahan juga “sistem kasta” yang diskriminatif dilestarikan. “Kasta tertinggi” adalah kepala sekolah/rektor dan pengajar/dosen. Dibawahnya adalah siswa/mahasiswa yang paling pandai menghafal, patuh dan taat, “sarimin-sarimin” muda , para “juara kelas” dan “mahasiswa teladan” yang jumlahnya kurang dari jumlah jari tangan. Selebihnya, dalam jumlah yang amat sangat besar, adalah kaum pinggiran, pelengkap penderita yang tidak punya hak suara dan bahkan tidak boleh bicara pada forum-forum “akademis” yang terhormat.
Pendek kata, kita merasa “tidak mungkin” atau “tidak dapat” hidup tanpa sekolah dan universitas, sekalipun kalau mau jujur kita selalu saja dikecewakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Tidakkah ini memenuhi syarat untuk disebut sebagai “kecanduan sekolah”?


Kritikan Dan Saran
Sebuah era kemajuan diberbagai bidang kehidupan manusia di dunia saat ini terus semakin berkembang. Hukum alam yang menyebutkan bahwa siapa yang paling kuat, maka ialah yang akan menang dan berkuasa atas apapun yang ada bila ia menginginkannya semakin kental dan jelas nyata terjadi saat ini. Munculnya paham atau era kepitalisme yang berasal dari negara-negara barat dalam upaya mereka untuk mendominasi pengaruh kekuasaannya diseluruh dunia semakin memperkuat akan pepatah diatas. Kpaitalisme yang banyak orang memperbincangkan dan menyandingkannya dengan penguasaan dalam bidang perekonomian ternyata menjalar kepada kapitalisme dalam dunia pendidikan saat ini, termasuk menjalar terhadap dunia pendidikan yang ada di Indonesia.
Benar adanya bila pendidikan yang selama ini terjadi di Indonesia adalah pendidikan yang bisa dibeli dan diperdagangkan kapanpun dan dimanapun. Contohnya, banyaknya praktek-praktek kecurangan yang dilakukan oleh para pejabat pendidikan seperti halnya jual beli ijazah, memperdagangkan buku-buku pelajaran kepada para siswa/mahasiswa, tidak memandang apakah siswa/mahasiswa itu mampu atau tidaknya membeli buku itu karena yang terpenting adalah “wajib” hukumnya bagi para siswa/mahasiswa untuk memiliki dan membeli buku itu. Sudah menjadi rahasia umum bila pendidikan pada akhirnya selalu dan seringkali dipolitisasi oleh penguasa. Lihat saja kekacauan sistem kurikulum pengajaran bagi para siswa/mahasiswa yang terjadi saat ini. Ganti Presiden dan pastinya ganti menteri maka secara otomatis akan terjadi pula pergantian kurikulum dari penguasa sebelumnya. Hal ini tentunya akan berdampak besar bagi siswa/mahasiswa yang terutama para siswa/mahasiswa yang kurang mampu karena harus kembali membeli buku seperti halnya kurikulum yang telah ditetapkan oleh penguasa (pemerintah). Sangat ironis bukan?
Cita-cita untuk memperbaiki sistem pendidikan dan mencari alternatif penyelasaiannya adalah dambaan bagi setiap masyarakat di Indonesia saat ini, tidak hanya mereka yang memiliki prestise atau kehormatan yang tinggi di masyarakat karena kepntaran dan kejeniusannya, tetapi juga dipikirkan pula oleh para masyarakat pinggiran yang selalu dianggap bodoh oleh sebagian “kaum”. Mengapa? Tentu karena mereka peduli akan kelanjutan dan kemajuan bagi dunia pendidikan karena pada saatnya hal ini akan memberi peluang bagi anak-anak mereka untuk bisa medapatkan haknya dengan memperoleh pendidikan dan pangajaran yang layak dari pemerintah.
Namun, hal ini rasanya akan menjadi hal yang sangat pesimis akan terjadi melihat sistem pemerintahan yang semanjak dahulu hingga kini masih menggunakan sistem terpusat. Artinya segala sesuatu apapun itu dan tanpa melihat situasi dan kondisi masyarakat didalam suatu daerah tertentu, setiap kebijakan itu harus mengikuti kebijakan dari pusat. Contohnya, seperti halnya sistem kurikulum tadi dan juga penetapan hasil kelulusan bagi para siswa/mahasiswa. Sebaliknya, apabila kita menginginkan sebuah sistem pendidikan yang yang tidak mengikuti kebijakan dari pusat, apakah setiap daerah itu mampu untuk memberikan dan menjamin sistem pendidikan yang baik bagi daerahnya? Sebuah dilema yang sulit sekali untuk mengambil keputusan didalamnya. Dalam pelaksanaan UAN misalnya, ada opini berkembang yang mana hasil UAN itu harus ditentukan sendiri oleh sekolah. Pertanyaan mendasarnya, apakah pihak sekolah bisa menjamin tidak adanya kecurangan dalam penetapan nilai UAN itu? Jangan-jangan hanya karena ingin skolahnya mendapat pujian dan penghargaan dari pemerintah, maka para oknum sekolah berani untuk melakukan kecurangan. Perdebatan sebaliknya, apabila hasil UAN itu ditentukan oleh orang-orang yang nota-bene bukan pengajar keseharian di sekolah itu, apakah mereka pantas langsung memberi nilai dan menetapkan apakah siswa itu lulus apa tidak? Pusaran permasalahan yang sangat sulit.
Jadi, apabila ada pertanyaan perlukah sekolah/universitas dububarkan? Jawabannya jelas tidak. Kenapa? Selama belum adanya alternatif yang sangat jelas dan dari segi teori dan praktek alternatif tersebut bisa dilaksanakan dengan baik serta disetujui oleh semua belah pihak, tidak hanya para pejabat tinggi yang terhormat, tetapi juga harus disetujui oleh semua lapisan masyarakat yang ada, belum dan sangat tidak bijak mangatakan atau menanyakan apakah sekolah/universitas itu perlu dibubarkan. Karena bila itu dilakukan, bukan solusi yang seharusnya dapat mengatasi pesoalan pendidikan yang selama ini terjadi, malah akan menambah masalah dan semakin membenamkan sistem pendidikan di masa kini atau di masa yang akan datang.
Hanya saja yang menjadi alternatif dasar dengan dipertahankannya sekolah ataupun universitas ini adalah dengan melakukan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daearah serta koordinasi yang baik pula antara pemerintah daerah dengan masyarakat setempat dan juga para tenaga pendidik stempat untuk bersama mencari solusi, memperbaiki dan menetapkan bersama sistem pendidikan apa yang patut dan harus dilaksanakan oleh kita saat ini. Apabila koordinasi ini dapat terjadi secara bekesinambungan dan berimbang, maka yakinlah sebuah solusi terbaik untuk memmperbaiki sistem pendidikan yang buruk selama ini akan tercapai dan teratasi. Semoga saja terjadi!?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar