Bukit Betung, Sungai Liat Babel

Bukit Betung, Sungai Liat Babel

Senin, 18 Maret 2013

Rabu, 14 April 2010

Kritik n Saran

Perlukah Sekolah/Universitas Dibubarkan?
Pada hakikatnya, pendidikan sepenuhnya merupakan pola interaksi manusiawi antara orang perseorangan dengan dunia di luar dirinya, termasuk dengan orang perseorangan lainnya (person to person) sebagaimana terjadi dalam keluargan dan dalam masyarakat, yakni dalam kehidupan sehari-hari yang informal. Sesungguhnya tidak seorangpun yang bisa dididik atau diedukasi, karena edukasi atau pendidikan itu adalah proses menyatakan diri “dari dalam ke luar” (inside out). Pernyataan diri atau aktualisasi potensi diri itu tidak bisa diajarkan , juga tidak bisa dilatih, sebab pengajaran dan pelatihan datang dari “luar diri” (outside in). Pendidikan sebagai proses aktualisasi potensi diri juga tidak bisa dibeli, sepaerti kita dapat membeli pengetahuan ari industri persekolahan atau industri lainnya yang memperdagangkan pengetahuan. Bahkan pendidikan juga tidak bisa direncanakan secara ketat, tidak bisa diprogramkan berdasarkan hasil suatu penelitian. Pendidikan sebagai proses pemanusiawian (humanisasi) tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikontrol, sebagaimana proses produksi barang dan jasa.
Bila kata “formal”, “nonformal” dan “imformal” hendak dipergunakan, hendaknya dikaitkan dengan kata “pendidikan” (education), tetapi lebih tepat dengan kata “pembelajaran” (learning). Artinya, bila kita ingin membicarakan masalah pendidikan dalam arti yang sejati, kita harus menghentikan salah kaprah yang menyesatkan dengan mengganti istilah “lembaga pendidikan” menjadi “lembaga pengajaran”.

Misi Terselubung Lembaga Persekolahan
Saat ini, lembaga persekolahan yang terutama sekolah, universitas, dan juga yang mencakup lembaga-lembaga pelatihan yang mendukung sekolah dan universitas telag dianggap atau diperlakukan sebagai pemegan hak monopoli atas pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills). Mereka yang berkuasa atas lembaga persekolahan, mulai dari pemerintah sampai dengan pengurus yayasan dan kepala sekolah, tidak ubahnya bagai raja yang berhak mendiktekan pengetahuan mana yang diperlukan dan keterampilan apa yang harus dilatihkan keapda semua orang bersekolah. Tidak terlalu mengherankan jika kemudian kita menyaksikan bahwa lembaga-lembaga persekolahan hampir selalu dipolitisasi untuk melestarikan kekuasaan rezim tertentu.
Ini artinya, lembaga persekolahan sebenarnya diberi misi terselubung, yakni untuk melestarikan kekuasaan dan status quo. Upaya melestarikan kekuasaan dan staus quo ini dilaksanakan secara sistematis, terprogram, dan dapat diprediksi, karena mengacu pada “kurikulum nasional” yang disusun oleh “kelompok ahli” yang “paling mengetahui” kebutuhan masyarakat. Keikutseratan masyarakat hanyalah dalam soal mendanai pelaksanaan “kurikulum nasional” itu. Masyarakat, terutama yang bukan “produk” sekolahan, hampir dapat dipastikan tidak tidak pernah diajak terlibat memikirkan “kurikulum nasiaonal” ini dan mereka harus menerima begitu saja apa yang telah ditentukan oleh “kaum pintar”.

“Generasi Sarimin” yang “Ketagihan Sekolah”
Pada akhirnya, kaum muda yang telah kehilangan daya kritis dan kemampuan kreatif inilah yang memasuki dunia kerja, menjada pegawai dan aparat birokrasi yang taat sepenuhnya kepada apa kata “komndan”. Mereka menjadi “generasi sarimin”, monyet yang terlatih untuk mengikuti instruksi dan perintah dari majikannya, agar mereka kebagian “hadiah” (uang, jabatan, proyek KKN, dan sejenisnya). Sebuah ilustrasi yang sangat tepat, penjara adalah “sekolah” para bandit dan penjahat tulen. Sebagian bandit yang keluar dari penjara tidak menjadi manusia yang insyaf dan bertobat, tetapi makin mahir melakukan kejahatan dan makin sering melakukannya tanpa harus ditangkap. Mereka telah “belajar” pada pengajar dan pelatih terbaiknya di penjara. Nah, sekolah adalah penjara dalam arti itu.
Diajarkan bahwa sekolah, universitas, dan gelar akademis adalah jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk mengubah nasib mereka, teutama anak-anak miskin. Pada kenyataannya, setalh orangtuanya di kampung terpaksa membanting tulang dan menjual sawah ladang mereka untuk membiayai “sekola” itu, anak-anak yang telah memperoleh “sertifikat akademis” itu harus antri dalam barisan pengangguran terpelajar yang mengemis pekerjaan. Kualitas hidup petani dan pedagang yang tidak pernah bersekolah di masa lalu mungkin lebih baik daripada kualitas anak-anak mereka yang “terpelajar” tetapi tidak menguasai baik pengetahuan maupun keterampilan hidup (karena yang diajarkan cuma menghafal). Itulah kenyataannya, tetapi “generasi sarimin” telah dibutakan untuk melihat realitas yang sesungguhnya itu. “Generasi sarimin” telah terbiasa dan terkondisi untuk bermental budak-kuli-babu yang selau mencari majikan baru karena takut menjadi manusia merdeka yang bertanggungjawab. “Generasi sarimin” tidak menunjukkan sama sekali “mentalitas swasta” yang terutam bercirikan sensitivitas, kreativitas, dan keberanian mangambil risiko.
Selain itu, di lembaga persekolahan juga “sistem kasta” yang diskriminatif dilestarikan. “Kasta tertinggi” adalah kepala sekolah/rektor dan pengajar/dosen. Dibawahnya adalah siswa/mahasiswa yang paling pandai menghafal, patuh dan taat, “sarimin-sarimin” muda , para “juara kelas” dan “mahasiswa teladan” yang jumlahnya kurang dari jumlah jari tangan. Selebihnya, dalam jumlah yang amat sangat besar, adalah kaum pinggiran, pelengkap penderita yang tidak punya hak suara dan bahkan tidak boleh bicara pada forum-forum “akademis” yang terhormat.
Pendek kata, kita merasa “tidak mungkin” atau “tidak dapat” hidup tanpa sekolah dan universitas, sekalipun kalau mau jujur kita selalu saja dikecewakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Tidakkah ini memenuhi syarat untuk disebut sebagai “kecanduan sekolah”?


Kritikan Dan Saran
Sebuah era kemajuan diberbagai bidang kehidupan manusia di dunia saat ini terus semakin berkembang. Hukum alam yang menyebutkan bahwa siapa yang paling kuat, maka ialah yang akan menang dan berkuasa atas apapun yang ada bila ia menginginkannya semakin kental dan jelas nyata terjadi saat ini. Munculnya paham atau era kepitalisme yang berasal dari negara-negara barat dalam upaya mereka untuk mendominasi pengaruh kekuasaannya diseluruh dunia semakin memperkuat akan pepatah diatas. Kpaitalisme yang banyak orang memperbincangkan dan menyandingkannya dengan penguasaan dalam bidang perekonomian ternyata menjalar kepada kapitalisme dalam dunia pendidikan saat ini, termasuk menjalar terhadap dunia pendidikan yang ada di Indonesia.
Benar adanya bila pendidikan yang selama ini terjadi di Indonesia adalah pendidikan yang bisa dibeli dan diperdagangkan kapanpun dan dimanapun. Contohnya, banyaknya praktek-praktek kecurangan yang dilakukan oleh para pejabat pendidikan seperti halnya jual beli ijazah, memperdagangkan buku-buku pelajaran kepada para siswa/mahasiswa, tidak memandang apakah siswa/mahasiswa itu mampu atau tidaknya membeli buku itu karena yang terpenting adalah “wajib” hukumnya bagi para siswa/mahasiswa untuk memiliki dan membeli buku itu. Sudah menjadi rahasia umum bila pendidikan pada akhirnya selalu dan seringkali dipolitisasi oleh penguasa. Lihat saja kekacauan sistem kurikulum pengajaran bagi para siswa/mahasiswa yang terjadi saat ini. Ganti Presiden dan pastinya ganti menteri maka secara otomatis akan terjadi pula pergantian kurikulum dari penguasa sebelumnya. Hal ini tentunya akan berdampak besar bagi siswa/mahasiswa yang terutama para siswa/mahasiswa yang kurang mampu karena harus kembali membeli buku seperti halnya kurikulum yang telah ditetapkan oleh penguasa (pemerintah). Sangat ironis bukan?
Cita-cita untuk memperbaiki sistem pendidikan dan mencari alternatif penyelasaiannya adalah dambaan bagi setiap masyarakat di Indonesia saat ini, tidak hanya mereka yang memiliki prestise atau kehormatan yang tinggi di masyarakat karena kepntaran dan kejeniusannya, tetapi juga dipikirkan pula oleh para masyarakat pinggiran yang selalu dianggap bodoh oleh sebagian “kaum”. Mengapa? Tentu karena mereka peduli akan kelanjutan dan kemajuan bagi dunia pendidikan karena pada saatnya hal ini akan memberi peluang bagi anak-anak mereka untuk bisa medapatkan haknya dengan memperoleh pendidikan dan pangajaran yang layak dari pemerintah.
Namun, hal ini rasanya akan menjadi hal yang sangat pesimis akan terjadi melihat sistem pemerintahan yang semanjak dahulu hingga kini masih menggunakan sistem terpusat. Artinya segala sesuatu apapun itu dan tanpa melihat situasi dan kondisi masyarakat didalam suatu daerah tertentu, setiap kebijakan itu harus mengikuti kebijakan dari pusat. Contohnya, seperti halnya sistem kurikulum tadi dan juga penetapan hasil kelulusan bagi para siswa/mahasiswa. Sebaliknya, apabila kita menginginkan sebuah sistem pendidikan yang yang tidak mengikuti kebijakan dari pusat, apakah setiap daerah itu mampu untuk memberikan dan menjamin sistem pendidikan yang baik bagi daerahnya? Sebuah dilema yang sulit sekali untuk mengambil keputusan didalamnya. Dalam pelaksanaan UAN misalnya, ada opini berkembang yang mana hasil UAN itu harus ditentukan sendiri oleh sekolah. Pertanyaan mendasarnya, apakah pihak sekolah bisa menjamin tidak adanya kecurangan dalam penetapan nilai UAN itu? Jangan-jangan hanya karena ingin skolahnya mendapat pujian dan penghargaan dari pemerintah, maka para oknum sekolah berani untuk melakukan kecurangan. Perdebatan sebaliknya, apabila hasil UAN itu ditentukan oleh orang-orang yang nota-bene bukan pengajar keseharian di sekolah itu, apakah mereka pantas langsung memberi nilai dan menetapkan apakah siswa itu lulus apa tidak? Pusaran permasalahan yang sangat sulit.
Jadi, apabila ada pertanyaan perlukah sekolah/universitas dububarkan? Jawabannya jelas tidak. Kenapa? Selama belum adanya alternatif yang sangat jelas dan dari segi teori dan praktek alternatif tersebut bisa dilaksanakan dengan baik serta disetujui oleh semua belah pihak, tidak hanya para pejabat tinggi yang terhormat, tetapi juga harus disetujui oleh semua lapisan masyarakat yang ada, belum dan sangat tidak bijak mangatakan atau menanyakan apakah sekolah/universitas itu perlu dibubarkan. Karena bila itu dilakukan, bukan solusi yang seharusnya dapat mengatasi pesoalan pendidikan yang selama ini terjadi, malah akan menambah masalah dan semakin membenamkan sistem pendidikan di masa kini atau di masa yang akan datang.
Hanya saja yang menjadi alternatif dasar dengan dipertahankannya sekolah ataupun universitas ini adalah dengan melakukan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daearah serta koordinasi yang baik pula antara pemerintah daerah dengan masyarakat setempat dan juga para tenaga pendidik stempat untuk bersama mencari solusi, memperbaiki dan menetapkan bersama sistem pendidikan apa yang patut dan harus dilaksanakan oleh kita saat ini. Apabila koordinasi ini dapat terjadi secara bekesinambungan dan berimbang, maka yakinlah sebuah solusi terbaik untuk memmperbaiki sistem pendidikan yang buruk selama ini akan tercapai dan teratasi. Semoga saja terjadi!?!

Selasa, 13 April 2010

Sony Ericsson Xperia X10 Telepon Selular | Jejaring Sosial & telpon media

Sony Ericsson Xperia X10 Telepon Selular | Jejaring Sosial & telpon media

Teknologi Informasi

Inovasi Masa Depan


A. Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi saat ini telah menjalar dan memasuki setiap dimensi aspek kehidupan manusia. Teknolgi informasi saat ini memainkan peran yang besar didalam kegiatan bisnis, perubahan sturktur organisasi, dan mannajemen organisasi. Dilain pihak, teknologi informasi juga memberikan peranan yang besar dalam pengembangan keilmuan dan menjadi sarana utama dalam suatu institusi akademik. Mengutip apa yang dikatakan kadir (2003), secara garis besar, teknologi informasi memiliki peranan : 1) dapat menggantikan peran manusia, dalam hal ini dapat melakukan otomasi terhadap tugas atau proses; 2) memperkuat peran manusia, yakni dengan menyajikan informasi terhadap suatu tugas dan proses; 3) berperan dalam restrukturissi terhadap peran manusia, dalam melakukan perubahan-perubahan terhadap kumpulan tugas dan proses. Berdasarkan pemahaman diatas, maka kehadiran teknologi informasi telah memberikan kekuatan dan merupakan potensi besar jikalau dimanfaatkan dengan baik.
Teknologi informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data (memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan,dan memanipulasi data) yang menghasilkan informasi yang berkualitas (relevan, akurat, tepat waktu). Teknologi informasi dipergunakan untuk berbagai keperluan, seperti keperluan pribadi, bisnis, pendidikan dan pemerintahan. Teknologi Informasi inilah yang merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan sebuah keputusan. Teknologi informasi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan antar komputer. Pada dasrnya, teknologi informasi sendiri digunakan agar data dapat disebar dan diakses secara global serta cepat.



B. Pembahasan
Ketika berfikir ke masa depan, sebagian orang mempertimbangkan teknologi saat ini dan bagaimana teknologi tersebut dapat diperbaiki atau lebih berkembang dimasa depan. Teknologi informasi telah membuka jendela dunia akan sebuah dunia baru, interaksi baru, market place baru, dan sebuah jaringan bisnis dunia yang tanpa batas. Disadari betul bahwa perkembangan teknologi yang disebut internet, telah mengubah pola interaksi masyarakat, yaitu interaksi bisnis, ekonomi, sosial, dan budaya. Internet telah memberikan kontribusi yang demikian besar bagi masyarakat, perusahaan / industri atau pemerintah. Hadirnya Internet telah menunjang efektifitas dan efisiensi operasional berbagai perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga lain, terutama peranannya sebagai sarana komunikasi, publikasi, serta sarana untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh sebuah badan usaha dan bentuk badan usaha atau lembaga lainya.
Semakin berkembang pesatnya era komputerisasi dan teknologi informasi saat ini serta semakin gencarnya para ilmuwan dalam menemukan berbagai penemuan baru di dunia teknologi informasi, sehingga tidak mengherankan pada saat nantinya akan hadir berbagai inovasi baru yang semakin memudahkan masyarakat dunia dalam berkomunikasi. Menurut majalah Inggris New Scientis, seperti yang dikutip Epoch Times (edisi selasa, 3 Februari 2009), meramalkan akan hadirnya 10 produk iptek besar yang diharapkan terjadi dalam 30 tahun ke depan, dari ruang laboratorium melangkahkan kakinya ke rumah Anda, menjadi produk umum seperti halnya handphone (HP). Ke-10 iptek besar tersebut termasuk alat pendeteksi tembus dinding, mantel penyirna tubuh ala Harry Potter yang hingga saat ini masih dikembagkan oleh ilmuwan di Israel, peralatan panjat dinding ala spiderman yang membuat orang mampu memanjat dinding, pesawat terbang pribadi super, pesawat antariksa pribadi dan TV yang dapat menebarkan aroma dan lain-lain.
Bila melihat beberapa inovasi iptek diatas tentu menjadi sebuah pertnyaan besar bagi kita, apakah iptek semacam itu bisa dikembangkan karena secara rasional hal itu sangat sulit untuk dibuat menjadi hal atau produk yang nyata bagi masyarakat dunia. Namun, bila menelaah kebelakang tentang perkembagan teknologi yang terjadi pada tahun 1979 dimana perusahaan Jepang (NET), berhasil menemukan dan mengembangkan HP internet diseluruh dunia. Dimasa itu, penemuan tersebut merupakan hal yang mustahil terjadi. Sampai dengan perkembagan HP saat ini, tidak pernah terbayangkan pada akhirnya kita bisa berbicara dengan orang seseorang melalui HP dengan secara langsung melihat langsung wajag orang tersbut dilayar HP kita (produk 3G).
Keberhasilan semacam inilah yang menjadi modal dan optimisme para ilmuwan untuk mengembangkan iptek, terutama dalam hal teknologi informasi di masa depan demi sebuah pencapaian dan kemajuan bagi seluruh umat manusia, baik saat ini maupun bagi proses kehidupan masa depan nantinya.


C. Kesimpulan
Perkembangan teknologi dan informasi saat ini berkembang dengan pesat seiring dengan terus adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi informasi yang dapat memudahkan masyarakat diseluruh dunia untuk mengakses dan mendapatkan informasi secara cepat, tepat dan akurat dari berbagai sumber diseluruh dunia, terutama melalui dunia maya melalui teknologi berbasis internet (internet based technology). Hadirnya penciptaan film-film dengan menggunakan teknologi tingkat tinggi seperti halnya film Avata atau Harry Potter menunjukkan bahwa setiap waktu dunia teknologi saat ini terus menemukan berbagai inovasi baru yang dapat membuat kagum para penontonnya. Pengembagan mantel penyirna atau menghilang ala Harry Potter menunjukkan bahwa para ilmuwan saat ini, terutama para ilmuwan di Israel terus berusaha untuk mewujudkan hal yang dulunya menjadi hal sesuatu mustahil biasa terjadi dan dilakukan menjadi sebuah temuan teknologi yang benar-benar nyata. Perkembangan teknologi informasi melaui alat komunikasi dan elektronik seperti handphone dan komputer atau laptop dengan sistem jaringan 3G dan webcame semakin menunjukkan eksistensi perkembangan teknologi informasi saat ini. Semoga perkembangan teknologi informasi ini tidak hanya dapat bermanfaat bagi segelintir orang atau negara tapi dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat di dunia.

Selasa, 06 April 2010

Hubungan pendidikan dg Sitem Sosial/Struktur Sosial

A. Hubungan pendidikan dg sistem sosial/struktur sosial
              Salah satu pendekatan di dalam sosiologi yang menggali konsep sistem sosial adalah pendekatan fungsional struktural. Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, sebagai suatu sistem fungsional yang terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Fungsional struktural memandang masyarakat seperti layaknya organisme biologis yang terdiri dari komponen-komponen atomistis dan memelihara hubungan integratifsistemik agar metabolisme kehidupan masyarakat tetap terjaga
       Artinya, sebuah sistem sosial merupakan sistem dari tindakan-tindakan manusia. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi antarberbagai individu, yang tumbuh dan berkembang dalam standar penilaian umum serta mendapat kesepakatan bersama dari para anggota masyarakat. Yang paling penting dari berbagai standar penilaian umum adalah apa yang disebut sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. 
 Sistem Sosial
              Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain. Zamroni (2001) menyatakan bahwa pendekatan microcosmis melihat sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya.
   Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen-komponennya. Bagian-bagian tersebut diatur dan terintegrasi dalam naungan sistem kendali sosial berwujud organisasi formal. Pedoman formal merupakan rujukan fundamental dari seluruh latar belakang sikap dan perilaku para pengemban status dan peran di sekolah.
   Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem sosial tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga formal.
   Keberadaan guru, siswa, kepala sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua, siswa, pengawas, administratur merupakan komponen-komponen fungsional yang berinteraksi secara aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga disini fungsional strukural melandasi pandangan kita untuk melihat berbagai peran dan status formal di sekolah sebagai satu-satunya pedoman mendasar atas segala aktivitas yang dilakukan oleh warganya. Seluruh warga pengemban kedudukan telah tersosialisasi norma-norma sekolah sesuai dengan porsi statusnya sehingga menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah.
 Pendekatan Konflik
   Pendekatan konflik lebih menekankan porsi penilaian subjektif para pelaku peran di sekolah dan konsekuensi objektif atas wujud sekolah sebagai lembaga yang memelihara sistem kekuasaan. Pendekatan konflik melihat sisi lain dari tertibnya perilaku masyarakat sekolah dalam mengamalkan hasrathasrat individunya yang senantiasa patuh pada kekuatan normatif.
Kesimpulan 
   Dari dua pendekatan utama di atas (fungsional struktural dan konflik) dapat diambil kesimpulan bahwa sekolah bukanlah sekadar kumpulan yang terdiri dari para pelaksana administrasi, guru dan murid dengan segala sifat dan pembawaan mereka masing-masing (Horton dan Hunt, 1999: 333). Lebih dari itu, sekolah merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat hubungan mapan, interaksi, konfrontasi, konflik, akomodasi, maupun integrasi yang menentukan dinamika para warganya di sekolah. Oleh sebab itu, di dalam sekolah akan selalu mengandung unsur-unsur dan proses-proses sosial yang kompleks seperti halnya dinamika sosial masyarakat umum .

Minggu, 04 April 2010

Kesenjangan Sosial Dan Kemiskinan

A. Pengertian
    
      Kesenjangan diartikan sebagai kesenjangan/ketimpangan atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat juga kebutuhan sekunder seperti sarana pengembagan usaha, sarana perjuangan hak azazi, sarana saluran politik,pemenuhan pengembagan karir, dan lain-lain.
      Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehimgga mencegah dan menghalangi seseorang untuk mendapatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang-kurangnya ada ada dua faktor yang dapat menghambat. Pertama, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal).Rendahnya kualitas SDM karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan).
      Selain itu, faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan  seseorang. Hal ini terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas SDM, tetapi adanya hambatan-hambatan atau tekanan-tekanan struktural. Kesenjangan seperti inilah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan struktural.

B. Faktor Penyebab
  • Kebijakan Ekonomi
               Penerapankebijakan ekonomi sejak Orba berkuasa dengan melakukan penarikan investor secara besar-besaran dengan mengeluarkan UU Penanaman modal asing yang menyebabkan kenaikan pertumbahan ekonomi semakin cepat. Tapi dibalik itu, ketimpangan sosial sekelompok kecil masyarakat , terutama yang memiliki akses dengan penguasa politik dan ekonomi akan mendapatkan keuntungan yang besar. Namun sebaliknya, masyarakat yang tidak memiliki akses dan tidak dekat dengan penguasa akan dirugikan secara besar-besaran dengan melakukan tekanan terhadap mereka dan melakukan penutupan usaha kecil yang mereka rintis sejak lama. Artinya, kesenjangan sosial ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan ekonomi rakyat tetapi menyebabkan ekonomi rakyat mengalami proses marjinalisasi.
  • Kebijakan Penataan Lahan (Tata Ruang)
                 Penerapan kebijakan penataan lahan yang selama ini dilakukan pemerintah belum dapat mendatangkan manfaat terhadap masyarakat. Dalam konflik acap kali kepentingan masyarakat (publik) diabaikan dan cenderung mengutamakan kepentingan sekelompok orang (pengusaha). Pembagunan sektor ekonomi, seperti pembagunan kawasan industri, pabrik-pabrik, sarana wisata telah banyak menita lahan penduduk. Demikian pula dengan instansi-instansi pemerintah memerlukan tanah untuk pembagunanan perkantoran dll.
                  Dalam banyak kasus, banyak kasus, banyak tanah negara yang selama ini dikuasai penduduk dengan status tidak jelas dijadiakan sasaran dan cara termudah untuk menggusur penduduk.

Sabtu, 03 April 2010

Cinta Adalah Anugrah

  Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.~ Mahatma Ghandi.


   Satu-satunya cara agar kita memperolehi kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan. (Dale Carnagie)